Kamis, 29 Desember 2011

BERMALAS-MALASLAH NISCAYA HIDUPMU JADI LEBIH BERDAYA

Malas selalu di identikkan dengan hal-hal yang tidak produktif, selalu dikonotasikan negatif. Kalau anda karyawan, atasan anda akan marah besar kalau anda malas. Kalau anda orang tua, anda pasti juga akan kesal kalau melihat anak anda malas belajar. Pendek kata, malas adalah hal yang dibenci banyak orang, walaupun banyak orang juga yang hobby bermalas-malasan.

“Perubahan tidak akan terjadi dengan kemalasan, kesuksesan selalu berbanding lurus dengan kerja keras dan cerdas” kata seorang motivator, suatu ketika.

“Kemalasan akan mebuahkan penyesalan-penyesalan dimasa mendatang. Kemalasan akan meniadakan kemungkinan-kemungkinan sukses anda” kata seorang public speaker lainnya.

Apa sih salahnya kata “malas”, dosa apa ia sehingga ia dibenci-benci. Di letakkan pada pengertian yang selalu negatif. Apakah ia memang ada hanya sebagai subyek penderita? Lantas bagaimana jika ia menolak, kalau ia hanya di persepsikan kontraproduktif mengapa harus ada kata malas? Ataukan memang kita membutuhkannya untuk sumpah serapah?

Sahabat karib saya, Sariman namanya, justru menasehatkan untuk bermalas-malas. “Kalau ente mau bener, kalau ente mau meningkatkan derajat kemanusiaan, kalau ente ingin orang sekitar lebih respek sama ente, kalau ente ingin dapat dukungan dan dipilih sebagai pemimpin, kalau ente mau hidup lebih positif…maka bermalas-malaslah” katanya.

Awalnya saya menganggap Sariman ini hanya bercanda, guyon saja, nggak logis! Tapi bukan Sariman namanya kalau logikanya sedangkal sungai-sungai di jakarta. Kawan karib saya ini memang nyleneh, berpikir diluar kebiasaan (kalau bahasa kerennya thinking out of the box), jadi seringkali terkesan provokatif dan sulit ditebak.

“Bagaimana mungkin kemalasan bisa produktif, lha wong dalam kitab suci saja kita diperintahkan untuk tidak bermalas-malasan” sanggahku pada Sariman.

“Saya kan belum selesai ngomong… Malas itu memiliki potensi yang sama produktifnya dengan rajin. Begitu juga sebaliknya Rajin itu memiliki potensi kontraproduktif yang sama dengan kemalasan” kata Sariman.

Wah sampai pada titik ini saya masih dibuat bingung oleh gagasan teori aneh yang disampaikan Sariman.

“Begini dik, rajin dan malas itu akan menjadi negatif atau positif tergantung kita menempatkannya pada konteks apa. Kalau kita rajin melakukan hal-hal negatif ya hasilnya akan negatif walaupun judulnya “rajin”. Bayangkan kalau pemimpin-pemimpin kita hanya rajin menebar janji, tapi melupakan amanahnya. Kalau pejabat dan birokrat rajin nilep uang negara dan melupakan tanggungjawabnya. Kalau karyawan rajin main fesbuk dan mengabaikan tugas-tugasnya. Kalau pelajar dan mahasiswa rajin nongkrong di mal dan tidak lagi memiliki gairah belajar. Maka yang rajin-rajin diatas tentu menjadi sangat kontraproduktif”

“Nah sekarang tentang malas yang selama ini disebut-sebut sebagai biang kehancuran, penyebab tidak tercapainya target, akar dari kegagalan. Apakah tetap menjadi negatif jika kita malas untuk menyebar fitnah, malas untuk ngerasani dan ngomongin yang buruk-buruk tentang orang lain, malas untuk berbuat dzalim. Kalau diminta mengambil yang bukan haknya, ia bilang “ah malas ah, ogah!”. Kalau dipengaruhi untuk tidak setia pada janji dan amanahnya, ia bilang “ah males ah, ogah!” Kalau diajak untuk mengkonsumsi miras dan obat-obat terlarang, ia bilang “ah malas ah, mending ikut majelis ta’lim!” Bukankah kemalasan tidak selalu negatif…?” Kata Sariman.

Hmmm… Ternyata selalu ada dua sisi yang berbeda. Tergantung dari ‘angle’ yang mana kita melihatnya. Dan itu pilihan.

(Diwacanakan oleh : Ray Asmoro)