Kamis, 29 Desember 2011

"Take and Give" Menyesatkan (?)

Dalam kamus bahasa inggris, “to take” berarti mengambil. Sedangkan “to give” berarti memberi. Jadi “take and give” ini berarti mengambil dan memberi. Ini lah yang menurut Sariman, terdengar agak pilon dan bisa menyesatkan.

Konsep “take and give” ini berkonotasi mengambil dulu baru memberi. Seperti ini, kita tidak akan memberikan apapun jika kita belum mendapatkan sesuatu. Kita tidak akan membantu orang jika orang itu tidak mendatangkan keuntungan apapun pada kita. Kita tidak akan sudi melakukan shalat, menyembah-nyembah Tuhan jika Tuhan belum memberikan apa yang kita mau. Hmmm, pilon tidak?

Itu sih masih mendingan, kata Sariman. Yang lebih pilon adalah konsep “take and give” yang di anut justru di khianati sendiri. Ingat kalimat itu berbunyi “take and give” dan bukan “take or give”. Kata sambung ‘and’ (dan) menunjukkan bahwa kedua kata itu menjadi satu paket yang tidak terpisah. Pengertiannya adalah ketika kita sudah mengambil atau mendapatkan sesuatu maka konsekuensi logisnya ya kita harus (fardhu ‘ain hukumnya) memberikan sesuatu.

Berbeda dengan jika kalimatnya berbunyi “take or give”. “Or” (atau) menunjukkan pilihan. Boleh A, boleh B. Kalau sudah A, yang B menjadi sunnah atau bukan keharusan. Malah dalam hukum legal ada istilah “dan/atau” yang artinya, mau A saja boleh, B saja ya oke lah, mau A dan B sekalian juga monggo kerso, silakan.

Yang dimaksud dengan adanya pengkhianatan tadi adalah banyak orang memegang konsep “take and give”, tapi begitu sudah “take” lupa “give, bahkan pura-pura lupa, belagak pilon!

Ada yang tadinya hidupnya susah, lalu rajin berdoa, bersujud sampai tersungkur di tanah meminta-minta pada Tuhan, “Ya Tuhan, beri saya rizki melimpah, kalau saya di berikan rizki melimpah sebagian akan saya dermakan untuk kemaslahatan umat”, tapi setelah mendapatkan limpahan rizki tiada tara jadi lupa, malah pura-pura miskin.

Saya jadi ingat cerita Cak Nun di acara Kenduri Cinta, tentang Mahasiswa asal Madura yang menjadi Menwa (Resimen Mahasiswa). Si Menwa ini harus menjalani latihan terjun payung, melompat dari pesawat pada ketinggian tertentu, lalu bergelantungan pada parasut sebelum turun ke bumi.

Celakanya si Menwa satu ini takut. Ketika pesawat sudah sampai pada ketinggian tertentu, sang instruktur memerintahkannya untuk siap-siap melompat. Pada saat itu ia dihinggapi ketakutan yang luar biasa. Namun sebagai Menwa yang juga jebolan pesantren ia percaya kuasa Tuhan. Saat dihinggapi rasa ketakutan yang teramat sangat hingga membuat gentar hatinya, ia berdoa, “Ya Tuhan, kalau Kau selamatkan aku dalam terjun payung ini, aku akan sembelih seekor ayam”.

Selesai mengucap doa itu, sang Instruktur memerintahkan Menwa satu ini mendekat pintu pesawat, ia gentar, “Ya Tuhan, tidak jadi seekor ayam Tuhan, tapi aku akan sembelih lima ekor ayam sekaligus!”. Perasaannya semakin ciut begitu ia berada persis di depan pintu pesawat, “Ya Tuhan, ndak jadi ayam Tuhan, aku akan sembelih seekor sapi kalau aku selamat, please…”. Kemudian sang Instruktur memerintahkan untuk bersiap-siap melompat. Ia kembali berdoa, “Ya Tuhan, sapi Tuhan… aku akan sembelih lima ekor sapi…”. Maka begitu dia melompat yang terdengar adalah teriakan “Sapi…! Sapi…!”.
Ternyata ia parasutnya berkembang dengan semestinya, ia terayun-ayun diangkasa, hingga akhirnya ia selamat menginjakkan kakinya di bumi. Tidak terjadi suatu apapun, dia cengengesan, kemudian berkata, “Tuhan saya ndak jadi sembelih sapi ya… Sampeyan kan ndak butuh sapi…”. Dasar pilon!
Begitu juga yang sering kita jumpai. Bahkan konsep “take and give” itu sangat melekat dalam birokrasi kita. Coba deh anda mengurus dokumen di sebuah departemen atau instansi pemerintah, bisa dipastikan satu dokumen perijinan saja misalnya, tidak akan selesai dalam tempo satu bulan. Padahal persyaratan sudah lengkap, pejabat yang berwenang tanda-tangan juga ada ditempat. Mereka akan “give” anda dokumen yang anda butuhkan jika mereka sudah “take” sesuatu dari anda. Saya tidak bilang soal suap lho, tapi begitulah mental “take and give”, kata Sariman. Tuhan saja di permainkan apalagi anda. (Soal pelayanan publik, berita baiknya saat ini ada beberapa pemerintah daerah yang telah memangkas jalur birokrasi dan memberikan pelayanan jauh lebih baik dan patut di teladani).

Di dunia pekerjaan juga demikian. Dengan konsep “take and give”, pekerja di “pakai” tenaga dan pikirannya, sebulan kemudian baru perusahaan memberikan gajinya. Itu wajar. Tidak wajar apabila pekerja tidak diberikan hak-haknya berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Jadi apabila pekerja anda demo, mogok, protes, mulai malas-malasan, anda harus segera cek apakah anda sudah “give” hak-hak pekerja anda secara wajar sebagaimana mestinya.

Sariman punya pendapat yang berbeda. Ia sama sekali menolak konsep “take and give”. Baginya “take and give” itu sangat tendensius dan kadar keikhlasannya nyaris tidak ada. Bahkan konsep “take and give” ini bertentangan dengan hukum sebab-akibat atau sunatullah. Jika “take” itu sebuah sebab, maka “give” itu sebuah akibat. Jika anda ingin memberi maka anda harus mengambil. Kata “mengambil” ini kan multipersepsi, bisa jadi mengambil secara terang-terangan, mengambil gelap-gelapan, mengambil secara sembunyi-sembunyi, bisa korupsi, maling, ngrampok, nodong, nyopet, ngutil, pokoknya mengambil, ndak peduli benar atau salah. Kesimpulannya, konsep “take and give” ini sangat berbahaya.

Di usulkanlah sebuah konsep yang sangat logis dan masuk akal, tidak menyimpang dari sunatullah, memenuhi syarat hukum sebab akibat, tidak tendensius dan sangat mendidik, konsep itu adalah “give and receive” (memberi dan menerima).

Kaitannya dengan hukum sebab akibat (law of attraction), sangat relevan. Jika “give” adalah sebab maka “receive” adalah sebuah akibat. If you want to “receive” than you must to “give” firts! Ini sama seperti doktrin “jika engkau ingin mendapatkan hak-hakmu maka tunaikan dulu kewajibanmu”.

Jika anda ingin uang melimpah ya anda tidak cukup ongkang-ongkang kaki saja, anda harus bekerja. Jika anda ingin orang lain respect pada anda, maka anda harus memberikan kepedulian dan penghargaan pada orang lain. Kalau anda ingin mendapat promosi jabatan, maka anda harus ledih dahulu memberi bukti prestasi kerja kepada pimpinan. Jika anda ingin memiliki anak yang sholeh dan sholehah maka anda harus memberi teladan sebagai orang tua yang sholeh dan sholehah. Jika anda ingin karyawan anda lebih giat bekerja agar omset dan profit margin anda meningkat, maka anda harus memberikan “perhatian” lebih kepada karyawan anda. Jika anda ingin pelanggan anda setia maka anda harus perlakukan pelanggan anda seperti pacar anda. Jika anda ingin suami atau istri anda sayang pada anda maka anda harus terlebih dahulu memberikan cinta dan kasih sayang tulus pada istri atau suami anda. Jika anda ingin terpilih jadi presiden tahun 2009 nanti, ya anda harus mati-matian membela rakyat, harus memiliki program konkret bagi peningkatan kesejahteraan rakyat miskin, menyediakan lebih banyak lapangan kerja, mengungkap skandal pembunuhan Munir, segera memburu dan mengadili para koruptor, tuntaskan kasus BLBI dan menyelesaikan kasus Lapindo secara adil. Dan jika anda ingin Tuhan memberikan apa yang anda pinta, ya anda harus terlebih dulu melaksanakan perintah-perintahnya secara ikhlas.

Lalu apa jaminannya jika sudah memberi pasti akan menerima? (Sariman diam sejenak sambil garuk-garuk kepala).

Dalam hal “give and receive” Tuhan sudah berjanji, “…barang siapa melakukan perbuatan baik sebesar biji dzarah sekalipun, maka ia akan mendapatkan bagian (pahala) yang setimpal…” Sudah jelas, bukan? If you do something, than you will get something. Untuk mendapatkan sesuatu (have) kita harus melakukan tindakan nyata (do). Hanya saja dalam konteks tertentu kita tidak bisa langsung menerima sesuatu dalam wujud fisik.

Kita mengeluarkan uang untuk menolong orang, bisa jadi bukan uang yang kita terima sebagai balasan tapi bisa respect atau persaudaraan atau kepuasan bathin. Kita memuji sales kita karena ia telah kerja dengan sangat antusias, bukan uang yang kita berikan tapi dia bisa memberikan kita uang dengan mencetak angka penjualan yang fantastis karena merasa diperhatikan dan dihargai.

Sekarang apa jadinya jika kita selalu memberi caci maki kepada staf kita, selalu bersikap sinis dengan teman sekitar, selalu memberi penilaian buruk kepada orang lain, selalu memberi ancaman kepada anak kita, atau selalu memberikan cemooh dan hinaan terhadap karya orang lain? Bisa dipastikan kita akan mendapatkan (receive) sesuatu yang negatif pula.

Kesimpulannya, kata Sariman, jika selama ini banyak orang yang membenci kita, banyak yang diam-diam ngrasanin kita dengan hal-hal buruk, banyak yang sinis dan apatis sama kita, banyak orang yang menjauhi kita, banyak yang tidak mau menerima pendapat dan ajakan kita, banyak yang mengabaikan kita, banyak orang yang mengutuk kita, banyak orang yang tidak senang dengan kehadiran kita, banyak orang yang tidak mau bekerjasama dengan kita, banyak orang yang tidak mau membeli barang di toko kita, banyak tetangga yang tidak mau menyapa kita, jika 60% persen pemilih tidak menggunakan hak pilihnya pada beberapa Pilkada alias Golput dan masih banyak hal lain lagi, maka satu-satunya hal yang harus kita pikir dan kita pertanyakan pada diri kita sendiri adalah “apa yang telah kita berikan kepada orang lain? Sesuatu yang baik atau sebaliknya?”

Tanyakan, pikirkan dan temukan jawabannya di kesadaran anda.

(diwacanakan oleh : Ray Asmoro)

BERMALAS-MALASLAH NISCAYA HIDUPMU JADI LEBIH BERDAYA

Malas selalu di identikkan dengan hal-hal yang tidak produktif, selalu dikonotasikan negatif. Kalau anda karyawan, atasan anda akan marah besar kalau anda malas. Kalau anda orang tua, anda pasti juga akan kesal kalau melihat anak anda malas belajar. Pendek kata, malas adalah hal yang dibenci banyak orang, walaupun banyak orang juga yang hobby bermalas-malasan.

“Perubahan tidak akan terjadi dengan kemalasan, kesuksesan selalu berbanding lurus dengan kerja keras dan cerdas” kata seorang motivator, suatu ketika.

“Kemalasan akan mebuahkan penyesalan-penyesalan dimasa mendatang. Kemalasan akan meniadakan kemungkinan-kemungkinan sukses anda” kata seorang public speaker lainnya.

Apa sih salahnya kata “malas”, dosa apa ia sehingga ia dibenci-benci. Di letakkan pada pengertian yang selalu negatif. Apakah ia memang ada hanya sebagai subyek penderita? Lantas bagaimana jika ia menolak, kalau ia hanya di persepsikan kontraproduktif mengapa harus ada kata malas? Ataukan memang kita membutuhkannya untuk sumpah serapah?

Sahabat karib saya, Sariman namanya, justru menasehatkan untuk bermalas-malas. “Kalau ente mau bener, kalau ente mau meningkatkan derajat kemanusiaan, kalau ente ingin orang sekitar lebih respek sama ente, kalau ente ingin dapat dukungan dan dipilih sebagai pemimpin, kalau ente mau hidup lebih positif…maka bermalas-malaslah” katanya.

Awalnya saya menganggap Sariman ini hanya bercanda, guyon saja, nggak logis! Tapi bukan Sariman namanya kalau logikanya sedangkal sungai-sungai di jakarta. Kawan karib saya ini memang nyleneh, berpikir diluar kebiasaan (kalau bahasa kerennya thinking out of the box), jadi seringkali terkesan provokatif dan sulit ditebak.

“Bagaimana mungkin kemalasan bisa produktif, lha wong dalam kitab suci saja kita diperintahkan untuk tidak bermalas-malasan” sanggahku pada Sariman.

“Saya kan belum selesai ngomong… Malas itu memiliki potensi yang sama produktifnya dengan rajin. Begitu juga sebaliknya Rajin itu memiliki potensi kontraproduktif yang sama dengan kemalasan” kata Sariman.

Wah sampai pada titik ini saya masih dibuat bingung oleh gagasan teori aneh yang disampaikan Sariman.

“Begini dik, rajin dan malas itu akan menjadi negatif atau positif tergantung kita menempatkannya pada konteks apa. Kalau kita rajin melakukan hal-hal negatif ya hasilnya akan negatif walaupun judulnya “rajin”. Bayangkan kalau pemimpin-pemimpin kita hanya rajin menebar janji, tapi melupakan amanahnya. Kalau pejabat dan birokrat rajin nilep uang negara dan melupakan tanggungjawabnya. Kalau karyawan rajin main fesbuk dan mengabaikan tugas-tugasnya. Kalau pelajar dan mahasiswa rajin nongkrong di mal dan tidak lagi memiliki gairah belajar. Maka yang rajin-rajin diatas tentu menjadi sangat kontraproduktif”

“Nah sekarang tentang malas yang selama ini disebut-sebut sebagai biang kehancuran, penyebab tidak tercapainya target, akar dari kegagalan. Apakah tetap menjadi negatif jika kita malas untuk menyebar fitnah, malas untuk ngerasani dan ngomongin yang buruk-buruk tentang orang lain, malas untuk berbuat dzalim. Kalau diminta mengambil yang bukan haknya, ia bilang “ah malas ah, ogah!”. Kalau dipengaruhi untuk tidak setia pada janji dan amanahnya, ia bilang “ah males ah, ogah!” Kalau diajak untuk mengkonsumsi miras dan obat-obat terlarang, ia bilang “ah malas ah, mending ikut majelis ta’lim!” Bukankah kemalasan tidak selalu negatif…?” Kata Sariman.

Hmmm… Ternyata selalu ada dua sisi yang berbeda. Tergantung dari ‘angle’ yang mana kita melihatnya. Dan itu pilihan.

(Diwacanakan oleh : Ray Asmoro)

alea iacta est

alea iacta est