Dalam kamus bahasa inggris, “to take” berarti mengambil. Sedangkan
“to give” berarti memberi. Jadi “take and give” ini berarti mengambil
dan memberi. Ini lah yang menurut Sariman, terdengar agak pilon dan bisa menyesatkan.
Konsep “take and give” ini berkonotasi mengambil dulu baru memberi.
Seperti ini, kita tidak akan memberikan apapun jika kita belum
mendapatkan sesuatu. Kita tidak akan membantu orang jika orang itu tidak
mendatangkan keuntungan apapun pada kita. Kita tidak akan sudi
melakukan shalat, menyembah-nyembah Tuhan jika Tuhan belum memberikan
apa yang kita mau. Hmmm, pilon tidak?
Itu sih masih mendingan, kata Sariman. Yang lebih pilon adalah
konsep “take and give” yang di anut justru di khianati sendiri. Ingat
kalimat itu berbunyi “take and give” dan bukan “take or give”. Kata
sambung ‘and’ (dan) menunjukkan bahwa kedua kata itu menjadi satu paket
yang tidak terpisah. Pengertiannya adalah ketika kita sudah mengambil
atau mendapatkan sesuatu maka konsekuensi logisnya ya kita harus (fardhu ‘ain hukumnya) memberikan sesuatu.
Berbeda dengan jika kalimatnya berbunyi “take or give”. “Or” (atau)
menunjukkan pilihan. Boleh A, boleh B. Kalau sudah A, yang B menjadi sunnah
atau bukan keharusan. Malah dalam hukum legal ada istilah “dan/atau”
yang artinya, mau A saja boleh, B saja ya oke lah, mau A dan B sekalian
juga monggo kerso, silakan.
Yang dimaksud dengan adanya pengkhianatan tadi adalah banyak orang
memegang konsep “take and give”, tapi begitu sudah “take” lupa “give,
bahkan pura-pura lupa, belagak pilon!
Ada yang tadinya hidupnya susah, lalu rajin berdoa, bersujud sampai
tersungkur di tanah meminta-minta pada Tuhan, “Ya Tuhan, beri saya rizki
melimpah, kalau saya di berikan rizki melimpah sebagian akan saya
dermakan untuk kemaslahatan umat”, tapi setelah mendapatkan limpahan
rizki tiada tara jadi lupa, malah pura-pura miskin.
Saya jadi ingat cerita Cak Nun di acara Kenduri Cinta, tentang Mahasiswa
asal Madura yang menjadi Menwa (Resimen Mahasiswa). Si Menwa ini harus
menjalani latihan terjun payung, melompat dari pesawat pada ketinggian
tertentu, lalu bergelantungan pada parasut sebelum turun ke bumi.
Celakanya si Menwa satu ini takut. Ketika pesawat sudah sampai pada
ketinggian tertentu, sang instruktur memerintahkannya untuk siap-siap
melompat. Pada saat itu ia dihinggapi ketakutan yang luar biasa. Namun
sebagai Menwa yang juga jebolan pesantren ia percaya kuasa Tuhan. Saat
dihinggapi rasa ketakutan yang teramat sangat hingga membuat gentar
hatinya, ia berdoa, “Ya Tuhan, kalau Kau selamatkan aku dalam terjun
payung ini, aku akan sembelih seekor ayam”.
Selesai mengucap doa itu, sang Instruktur memerintahkan Menwa satu ini
mendekat pintu pesawat, ia gentar, “Ya Tuhan, tidak jadi seekor ayam
Tuhan, tapi aku akan sembelih lima ekor ayam sekaligus!”. Perasaannya
semakin ciut begitu ia berada persis di depan pintu pesawat, “Ya Tuhan, ndak jadi
ayam Tuhan, aku akan sembelih seekor sapi kalau aku selamat, please…”.
Kemudian sang Instruktur memerintahkan untuk bersiap-siap melompat. Ia
kembali berdoa, “Ya Tuhan, sapi Tuhan… aku akan sembelih lima ekor
sapi…”. Maka begitu dia melompat yang terdengar adalah teriakan “Sapi…!
Sapi…!”.
Ternyata ia parasutnya berkembang dengan semestinya, ia terayun-ayun
diangkasa, hingga akhirnya ia selamat menginjakkan kakinya di bumi.
Tidak terjadi suatu apapun, dia cengengesan, kemudian berkata, “Tuhan saya ndak jadi sembelih sapi ya… Sampeyan kan ndak butuh sapi…”. Dasar pilon!
Begitu juga yang sering kita jumpai. Bahkan konsep “take and give” itu sangat melekat dalam birokrasi kita. Coba deh
anda mengurus dokumen di sebuah departemen atau instansi pemerintah,
bisa dipastikan satu dokumen perijinan saja misalnya, tidak akan selesai
dalam tempo satu bulan. Padahal persyaratan sudah lengkap, pejabat yang
berwenang tanda-tangan juga ada ditempat. Mereka akan “give” anda
dokumen yang anda butuhkan jika mereka sudah “take” sesuatu dari anda.
Saya tidak bilang soal suap lho, tapi begitulah mental “take
and give”, kata Sariman. Tuhan saja di permainkan apalagi anda. (Soal
pelayanan publik, berita baiknya saat ini ada beberapa pemerintah daerah
yang telah memangkas jalur birokrasi dan memberikan pelayanan jauh
lebih baik dan patut di teladani).
Di dunia pekerjaan juga demikian. Dengan konsep “take and give”, pekerja
di “pakai” tenaga dan pikirannya, sebulan kemudian baru perusahaan
memberikan gajinya. Itu wajar. Tidak wajar apabila pekerja tidak
diberikan hak-haknya berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Jadi apabila
pekerja anda demo, mogok, protes, mulai malas-malasan, anda harus segera
cek apakah anda sudah “give” hak-hak pekerja anda secara wajar
sebagaimana mestinya.
Sariman punya pendapat yang berbeda. Ia sama sekali menolak konsep “take
and give”. Baginya “take and give” itu sangat tendensius dan kadar
keikhlasannya nyaris tidak ada. Bahkan konsep “take and give” ini
bertentangan dengan hukum sebab-akibat atau sunatullah. Jika
“take” itu sebuah sebab, maka “give” itu sebuah akibat. Jika anda ingin
memberi maka anda harus mengambil. Kata “mengambil” ini kan
multipersepsi, bisa jadi mengambil secara terang-terangan, mengambil
gelap-gelapan, mengambil secara sembunyi-sembunyi, bisa korupsi, maling, ngrampok, nodong, nyopet, ngutil, pokoknya mengambil, ndak peduli benar atau salah. Kesimpulannya, konsep “take and give” ini sangat berbahaya.
Di usulkanlah sebuah konsep yang sangat logis dan masuk akal, tidak menyimpang dari sunatullah,
memenuhi syarat hukum sebab akibat, tidak tendensius dan sangat
mendidik, konsep itu adalah “give and receive” (memberi dan menerima).
Kaitannya dengan hukum sebab akibat (law of attraction), sangat relevan. Jika “give” adalah sebab maka “receive” adalah sebuah akibat. If you want to “receive” than you must to “give” firts! Ini sama seperti doktrin “jika engkau ingin mendapatkan hak-hakmu maka tunaikan dulu kewajibanmu”.
Jika anda ingin uang melimpah ya anda tidak cukup ongkang-ongkang kaki saja, anda harus bekerja. Jika anda ingin orang lain respect
pada anda, maka anda harus memberikan kepedulian dan penghargaan pada
orang lain. Kalau anda ingin mendapat promosi jabatan, maka anda harus
ledih dahulu memberi bukti prestasi kerja kepada pimpinan. Jika anda
ingin memiliki anak yang sholeh dan sholehah maka anda harus memberi
teladan sebagai orang tua yang sholeh dan sholehah. Jika anda ingin
karyawan anda lebih giat bekerja agar omset dan profit margin anda
meningkat, maka anda harus memberikan “perhatian” lebih kepada karyawan
anda. Jika anda ingin pelanggan anda setia maka anda harus perlakukan
pelanggan anda seperti pacar anda. Jika anda ingin suami atau istri anda
sayang pada anda maka anda harus terlebih dahulu memberikan cinta dan
kasih sayang tulus pada istri atau suami anda. Jika anda ingin terpilih
jadi presiden tahun 2009 nanti, ya anda harus mati-matian membela
rakyat, harus memiliki program konkret bagi peningkatan kesejahteraan
rakyat miskin, menyediakan lebih banyak lapangan kerja, mengungkap
skandal pembunuhan Munir, segera memburu dan mengadili para koruptor,
tuntaskan kasus BLBI dan menyelesaikan kasus Lapindo secara adil. Dan
jika anda ingin Tuhan memberikan apa yang anda pinta, ya anda harus
terlebih dulu melaksanakan perintah-perintahnya secara ikhlas.
Lalu apa jaminannya jika sudah memberi pasti akan menerima? (Sariman diam sejenak sambil garuk-garuk kepala).
Dalam hal “give and receive” Tuhan sudah berjanji, “…barang siapa melakukan perbuatan baik sebesar biji dzarah sekalipun, maka ia akan mendapatkan bagian (pahala) yang setimpal…” Sudah jelas, bukan? If you do something, than you will get something. Untuk mendapatkan sesuatu (have) kita harus melakukan tindakan nyata (do). Hanya saja dalam konteks tertentu kita tidak bisa langsung menerima sesuatu dalam wujud fisik.
Kita mengeluarkan uang untuk menolong orang, bisa jadi bukan uang yang kita terima sebagai balasan tapi bisa respect atau
persaudaraan atau kepuasan bathin. Kita memuji sales kita karena ia
telah kerja dengan sangat antusias, bukan uang yang kita berikan tapi
dia bisa memberikan kita uang dengan mencetak angka penjualan yang
fantastis karena merasa diperhatikan dan dihargai.
Sekarang apa jadinya jika kita selalu memberi caci maki kepada staf
kita, selalu bersikap sinis dengan teman sekitar, selalu memberi
penilaian buruk kepada orang lain, selalu memberi ancaman kepada anak
kita, atau selalu memberikan cemooh dan hinaan terhadap karya orang
lain? Bisa dipastikan kita akan mendapatkan (receive) sesuatu yang negatif pula.
Kesimpulannya, kata Sariman, jika selama ini banyak orang yang membenci kita, banyak yang diam-diam ngrasanin kita
dengan hal-hal buruk, banyak yang sinis dan apatis sama kita, banyak
orang yang menjauhi kita, banyak yang tidak mau menerima pendapat dan
ajakan kita, banyak yang mengabaikan kita, banyak orang yang mengutuk
kita, banyak orang yang tidak senang dengan kehadiran kita, banyak orang
yang tidak mau bekerjasama dengan kita, banyak orang yang tidak mau
membeli barang di toko kita, banyak tetangga yang tidak mau menyapa
kita, jika 60% persen pemilih tidak menggunakan hak pilihnya pada
beberapa Pilkada alias Golput dan masih banyak hal lain lagi, maka
satu-satunya hal yang harus kita pikir dan kita pertanyakan pada diri
kita sendiri adalah “apa yang telah kita berikan kepada orang lain?
Sesuatu yang baik atau sebaliknya?”
Tanyakan, pikirkan dan temukan jawabannya di kesadaran anda.
(diwacanakan oleh : Ray Asmoro)