Malas selalu di identikkan dengan hal-hal yang tidak produktif,
selalu dikonotasikan negatif. Kalau anda karyawan, atasan anda akan
marah besar kalau anda malas. Kalau anda orang tua, anda pasti juga
akan kesal kalau melihat anak anda malas belajar. Pendek kata, malas
adalah hal yang dibenci banyak orang, walaupun banyak orang juga yang
hobby bermalas-malasan.
“Perubahan tidak akan terjadi dengan kemalasan, kesuksesan selalu
berbanding lurus dengan kerja keras dan cerdas” kata seorang motivator,
suatu ketika.
“Kemalasan akan mebuahkan penyesalan-penyesalan dimasa mendatang.
Kemalasan akan meniadakan kemungkinan-kemungkinan sukses anda” kata
seorang public speaker lainnya.
Apa sih salahnya kata “malas”, dosa apa ia sehingga ia dibenci-benci. Di
letakkan pada pengertian yang selalu negatif. Apakah ia memang ada
hanya sebagai subyek penderita? Lantas bagaimana jika ia menolak, kalau
ia hanya di persepsikan kontraproduktif mengapa harus ada kata malas?
Ataukan memang kita membutuhkannya untuk sumpah serapah?
Sahabat karib saya, Sariman namanya, justru menasehatkan untuk
bermalas-malas. “Kalau ente mau bener, kalau ente mau meningkatkan
derajat kemanusiaan, kalau ente ingin orang sekitar lebih respek sama
ente, kalau ente ingin dapat dukungan dan dipilih sebagai pemimpin,
kalau ente mau hidup lebih positif…maka bermalas-malaslah” katanya.
Awalnya saya menganggap Sariman ini hanya bercanda, guyon saja, nggak
logis! Tapi bukan Sariman namanya kalau logikanya sedangkal
sungai-sungai di jakarta. Kawan karib saya ini memang nyleneh, berpikir
diluar kebiasaan (kalau bahasa kerennya thinking out of the box), jadi
seringkali terkesan provokatif dan sulit ditebak.
“Bagaimana mungkin kemalasan bisa produktif, lha wong dalam kitab suci
saja kita diperintahkan untuk tidak bermalas-malasan” sanggahku pada
Sariman.
“Saya kan belum selesai ngomong… Malas itu memiliki potensi yang sama
produktifnya dengan rajin. Begitu juga sebaliknya Rajin itu memiliki
potensi kontraproduktif yang sama dengan kemalasan” kata Sariman.
Wah sampai pada titik ini saya masih dibuat bingung oleh gagasan teori aneh yang disampaikan Sariman.
“Begini dik, rajin dan malas itu akan menjadi negatif atau positif
tergantung kita menempatkannya pada konteks apa. Kalau kita rajin
melakukan hal-hal negatif ya hasilnya akan negatif walaupun judulnya
“rajin”. Bayangkan kalau pemimpin-pemimpin kita hanya rajin menebar
janji, tapi melupakan amanahnya. Kalau pejabat dan birokrat rajin nilep
uang negara dan melupakan tanggungjawabnya. Kalau karyawan rajin main
fesbuk dan mengabaikan tugas-tugasnya. Kalau pelajar dan mahasiswa rajin
nongkrong di mal dan tidak lagi memiliki gairah belajar. Maka yang
rajin-rajin diatas tentu menjadi sangat kontraproduktif”
“Nah sekarang tentang malas yang selama ini disebut-sebut sebagai biang
kehancuran, penyebab tidak tercapainya target, akar dari kegagalan.
Apakah tetap menjadi negatif jika kita malas untuk menyebar fitnah,
malas untuk ngerasani dan ngomongin yang buruk-buruk tentang orang lain,
malas untuk berbuat dzalim. Kalau diminta mengambil yang bukan haknya,
ia bilang “ah malas ah, ogah!”. Kalau dipengaruhi untuk tidak setia
pada janji dan amanahnya, ia bilang “ah males ah, ogah!” Kalau diajak
untuk mengkonsumsi miras dan obat-obat terlarang, ia bilang “ah malas
ah, mending ikut majelis ta’lim!” Bukankah kemalasan tidak selalu
negatif…?” Kata Sariman.
Hmmm… Ternyata selalu ada dua sisi yang berbeda. Tergantung dari ‘angle’ yang mana kita melihatnya. Dan itu pilihan.
(Diwacanakan oleh : Ray Asmoro)